Wednesday, May 10, 2017

Secarik Catatan di Negeri Ottoman (Part 3)

Setelah menghabiskan 2 hari perjalanan ternyata badan menuntut haknya dan kami baru bangun jam 10 pagi. Niat awalnya mau sholat jumat di Blue Mosque, tapi jadinya tujuan pertama kami malah mall. Mall of Istanbul, hanya 15 menit jalan kaki dari tempat kami. Setelah dari mall, beli segala keperluan termasuk beras dan alat mandi, dilanjut makan siang dan leyeh2, kami meluncur ke Blue Mosque. Tempat kami menginap ini 1 jam dari kawasan Blue Mosque jika menggunakan transportasi umum.

Cara ke Blue Mosque paling gampang adalah naik tram, turun di Sultan Ahmet Istasyonu. Nah, selama di Istanbul kami mengandalkan google maps. Hebatnya di google maps ini lengkap banget informasinya, kita bukan cuma tau arah ke tujuan tapi juga dikasih tau transportasi umum yang perlu kita gunakan, sampai nomor bus dan berapa jumlah halte/stasiun yang akan dilewati semua sudah ada di situ. Saya norak gitu awal2, sangat membantu lah google maps ini. Senjata kedua saya adalah karna orang Turki mayoritas ga bisa bahasa Inggris, saya download app translator dari English ke Turkish, bukan hanya perkata, aplikasi ini bisa menerjemahkan kalimat ataupun paragraf penuh. Jadi saya tinggal tunjukin hp saya ketika nanya sesuatu ke orang Turki, dikombinasikan dengan bahasa tarzan alias isyarat gerakan tubuh. All hail to the inventor!

Blue Mosque ada di 1 kawasan dengan Hagia Sophia, dengan taman yang ditumbuhi berbagai bunga tulip, air mancur, rumput yang terpelihara, burung camar dan burung dara yang beterbangan, alunan musik khas Turki, saya hanya bisa bilang terlalu banyak kecantikan dalam satu lokasi ini. Duduk santai disini seharian pun saya tidak akan bosan. Ternyata Blue Mosque dinamakan demikian karna keramik yang ada di dalam masjid ini didominasi oleh warna biru. Masjid ini dikunjungi bukan hanya oleh orang yang ingin sholat tapi juga wisatawan. Tentu harus menggunakan pakaian sopan kalau mau masuk ke sini. Petugas sigap menyediakan pashmina/scarf untuk wanita menutupi rambutnya, dan ada gamis juga.
 

Ada beberapa yang khas bagi muslim Turki; saat sholat jamaah yang bacaan imam dikeraskan, mereka tidak bersuara keras saat bilang “amiiinn”; mereka selalu pakai kaos kaki, saat saya gak pakai kaos kaki sendiri di barisan makmum malah jadi merasa aneh, jadilah mereka selalu bawa tisu untuk digunakan melap kakinya sehabis wudu; tasbih jadi barang umum buat kaum pria di Turki. Tidak jarang kita lihat mereka pegang tasbih di luar masjid, awalnya saya kira buat zikiran, ternyata banyak juga yang menggunakannya untuk mainan saja, jadi bisa dibilang tasbih di sana bukan simbol agama., seperti jilbab. Jilbab disana bagi kaum sekular adalah pakaian orang tua, jadi tidak ada hubungannya dengan agama.

Puas mengitari blue mosque, dan foto2 juga tentunya, kami lanjut ke Hagia Sophia yang ternyata sudah tutup. Akhirnya kami hanya duduk2 saja disitu menikmati momen sambil memperhatikan orang lalu lalang. Oiya, orang2 Turki ini menurut saya sebenarnya sangat helpful lho, apalagi kalau tau kita dari Indonesia. Saat di jalan dekat Blue Mosque kami mau beli istanbul kart yang bisa diisi ulang, melihat gelagat kami yang kebingungan tiba2 ada orang Turki nyamperin kami dan menawarkan bantuan. Bukan hanya 1 orang, tapi ada orang lain juga yang ikut membantu kami beli istanbul kart di mesin khusus. Bapak ini juga yang menyarankan kami untuk beli tiket ke Cappadocia hari itu juga untuk keberangkatan esok, karna kalau beli di hari yang sama kemungkinan besar tiketnya sudah habis. Saat kami beli tiket bus ke Cappadocia di kantor travel, ternyata yang punya travel ini nikah sama orang Indonesia dari Palembang. Jadilah kami ngobrol2 lama disana.

Tapi ya meskipun banyak orang baik, tetap kita harus waspada juga sih. Kami juga sempat disapa oleh orang yang tiba2 menyapa saya, pemuda asal Qatar yang lagi liburan di Turki. Kami bicara sepanjang jalan, asik si orangnya, tapi kemudian dia ngajak kami ke tempat asik katanya untuk liat belly dance dan minum2 sambil liat sunset, hhmmm, terdengar sangat menarik bagi doi tapi saya sendiri ga tertarik. Tapi karna ga enak nolak saya bilang aja saya ditungguin temen jadi ga bisa ikut dia. Usut punya usut, setelah saya ceritain ke teman Filipina di guest house kami, bisa jadi itu orang jahat. Pernah ada kejadian sejenis, dan ketika kita mengikuti ajakannya nanti ditempat itu kita bakal dirampok, duh, serem juga. Dalam 1 hari kami mengalami 2x kejadian serupa, di lokasi yang berdekatan, tentu dengan orang yang berbeda. Jadi, ada baiknya hati2 juga ya sama tawaran orang yang terlalu baik, apalagi kalau lagi solo traveling.

Di sepanjang jalan komplek Sultan Ahmet ini memang tempatnya para turis, karena dekat dengan Blue Mosque, Hagia Sophia, dan Grand Bazaar. Saran saya kalau mau tukar uang dolar ke lira jangan di sini, karna ratenya ya gak gitu bagus. Selama saya di Turki rate paling bagus saya temukan waktu kami di Cappadocia, untuk harga pashmina juga lebih murah di Cappadocia. Di Istanbul sendiri tempat untuk menukar uang yang ratenya bagus di Aksaray, tapi bukan dekat stasiun metro, harus jalan kaki dulu sekitar 5-10 menit, baru nemu tempat itu.

Tujuan kami berikutnya adalah ketemuan sama Emre, orang Turki yang merupakan teman dari manajer saya, yang bantu penginapan kami selama di Istanbul. Karena doi pengen banget ngajak kami dinner, akhirnya kami baru bisa ketemu setelah sholat maghrib, yaitu jam 8 malem. Kami janjian ketemu di Suleymaniye Mosque, yang sepi dan spooky banget karna udah ga ada turis yang dateng semalem itu ke masjid. Selesai sholat kami lanjut ke kafe yang pemandangannya oke banget, yaitu golden horn di sebelah kanan, dan Suleymaniye Mosque sebelah kiri. Suleymaniye di malam hari dari ketinggian terlihat cantik banget. Tapi karna di kafe ini ga sedia makanan berat kami pun pindah ke tempat makan lainnya. Tak lupa foto bareng Emre dan teman-temannya.


Makanan khas Turki adalah kebab, roti dan salad dengan campuran olive oil adalah menu wajib ibarat lalapan kalau di rumah makan sunda. Menu lengkapnya biasanya gini; appetizer: soup dan roti, habiskan dulu baru masuk ke main course: segala jenis daging, roti atau nasi (optional), plus salad tapi gak pakai mayonais melainkan olive oil; desert: lupa namanya, sesuatu yang manis lah, tapi bukan es krim. Minuman khas Turki adalah teh, dalam bahasa Turki “cay”, pertama kali denger saya langsung bilang “oww, it’s like sundanese, cai in sunda means water, in Turkish it’s a tea”, padahal pelafalannya beda, yang sunda “ca-i” yang turki “cay” seperti cap cay. Mereka jarang minum kopi tapi bukan berarti tidak suka. Cara mereka menyajikan kopi juga unik, yaitu dengan merebus si bubuk kopi dengan air dan gula secara bersamaan dalam 1 wadah kecil, tapi gula itu opsional sih, lebih banyak justru yang gak pakai gula.


*contoh salad turki dan main coursenya tapi versi sederhana


Emre dan temannya bisa dibilang grup religius, hah maksudnya gimana?? Jadi di Turki itu bisa dibilang ada 2 kelompok, yaitu kelompok sekuler dan kelompok religius. Apa bedanya? Nanti dilanjutkan di postingan terpisah aja ya.
.
Keasikan ngobrol membuat kami harus lari2 mengejar metro terakhir yaitu jam 23.30. Oleh karena guest house saya harus 2x naik kereta jadilah kami ga dapet kereta yang kedua, dan harus naik taksi dari stasiun terdekat. Karena kendala bahasa, meski udah pakai gps ternyata kami tetep aja muter2 dulu, ada rasa curiga si bapak supir sengaja tapi yaudahlah ya. Taksi di sana mahal euy, kami harus bayar 40 lira untuk jarak 12 km, kalau dirupiahkan sekitar 145 ribu. Tapi biarlah, yang penting perut kenyang hati senang, tidur pun pulas sekali malam itu dan siap untuk petulangan di hari berikutnya..

No comments: